HAK ASASI MANUSIA:
Dari Teori ke Pedagogi
Penulis:
H A L I L I
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Sebab hanya atas
karunia-NYA penulisan buku ini dapat diselesaikan sesuai rencana, baik pada
aspek konten maupun waktunya. Shalawat serta salam senantiasa ke haribaan
Nabi Muhammad SAW, pemimpin ummat manusia hingga akhir zaman.
Penulisan buku dengan judul ��Hak Asasi Manusia: Dari Teori Ke Pedagogi��
ini dilaksanakan dengan maksud memperkaya khazanah kajian hak asasi manusia,
serta melengkapi literature mengenai tema terkait, terutama untuk kepentingan
pembelajaran di perguruan tinggi. Penulisan buku ini pastilah jauh dari
kesempurnaan dan mengandung berbagai kekurangan. Oleh karena itu, kami
sebagai penulis sangat terbuka dan bahkan mengharapkan berbagai tanggapan,
kritik, pandangan, dan masukan dari sejawat peneliti lainnya atau para pihak
terkait lainnya, baik berkait dengan hal-hal teknis maupun teoretik-akademis.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada: 1) Rektor Universitas Negeri
Yogyakarta dan Wakil Rektor I, yang telah membuka peluang dan memberikan
pendanaan penulisan ini dalam skema Hibah Penulisan Buku Ajar tahun anggaran
2014, 2) Jajaran I Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan peran-
peran fasilitasi dan bahkan
technical assistance dalam pelaksanaan penulisan ini,
3) Seluruh kolega di Universitas Negeri Yogyakarta dan di lapangan, atas
kerjasama dan kontribusinya dalam penulisan buku ini, 4) Para asisten penulis dan
tim teknis yang telah membantu kelancaran penulisan, 5) Para pihak yang tidak
bias kami sebutkan satu per satu. Kontribusi mereka atas penelitian ini sangat
besar. Semoga Tuhan akan memberikan balasan yang berlipat atas budi baik
mereka semua.
Terakhir
, semoga penulisan buku ini bermanfaat, baik untuk pengembangan
ilmu pengetahuan maupun resolusi permasalahan-permasalahan yang berkkaitan
dengan hak asasi manusia di lapangan. Semoga buku ini dapat dikembangkan
iii
secara lebih luas dan mendalam, baik dalam hal pendekatan teoretis dan
metodologis maupun dalam
coverage permasalahan.
Hormat terdalam saya untuk para pembaca..
Yogyakarta, 5 Desember 2014
Halili
iv
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ........................................................................................... i
Kata Pengantar .............................................................................................. ii
Daftar Isi ........................................................................................................ iv
BAB I
KONSEP DASAR HAK ASASI MANUSIA
A. Apa Hak Asasi Manusia ......................................................................... 1
B. Mengapa Hak Asasi Manusia ................................................................ 4
C. Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia ...................................... 6
D. Mazhab Pemikiran Hak Asasi Manusia ................................................. 8
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA
A. Tonggak-Tonggak HAM Pra Perang Dunia II ....................................... 11
B. Momentum Penting HAM Pasca Perang Dunia II ................................. 25
BAB III
RUANG LINGKUP HAK ASASI MANUSIA
A. Katagori Hak Asasi Manusia ................................................................. 30
B. Prinsip Hak Asasi Manusia .................................................................... 34
C. Subjek hukum Hak Asasi Manusia ........................................................ 37
D. Pelanggaran Hak Asasi Manusia ............................................................ 45
E. Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara ............................................... 49
BAB IV
KELEMBAGAAN HAK ASASI MANUSIA
A. Kelembagaan Interasional Hak Asasi Manusia ..................................... 66
B. Kelembagaan Nasional Hak Asasi Manusia .......................................... 71
v
BAB V
INSTRUMEN HAK ASASI MANUSIA
A. Sifat mengikatnya instrumen Hak Asasi Manusia ................................. 83
B. Instrumen internasional Hak Asasi Manusia ......................................... 97
C. Instrumen nasional Hak Asasi Manusia ................................................. 145
BAB VI
TANTANGAN KONTEMPORER HAK ASASI MANUSIA
A. Impunitas: Tantangan Indonesia ............................................................ 147
B. Kelemahan Fundamental Pengadilan HAM .......................................... 148
C. Potret Impunitas atas Pelanggaran HAM Berat ..................................... 155
BAB VIII
PROMOSI HAK ASASI MANUSIA
A. Promosi Hak Asasi Manusia .................................................................. 168
B. Urgensi Pembelajaran Hak Asasi Manusia ............................................ 168
C. Pembelajaran Hak Asasi Manusia di Lembaga Pendidikan Formal ...... 170
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 175
BAB I
KONSEP DASAR HAK ASASI MANUSIA
A. Apa Hak Asasi Manusia
Memahami apa itu Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hal penting.
Meskipun ada anggapan bahwa definisi tidak terlalu penting dan lebih penting
mengenali prinsip-prinsipnya, pemahaman mengenai apa itu HAM dapat
membimbing kita untuk mengidentifikasi lebih lanjut prinsip-prinsip dan
implementasi HAM.
HAM, dalam pengertian yang sederhana, merupakan hak yang secara
alamiah dan kodrati melekat pada makhluk hidup yang bernama manusia semata-
mata karena ia merupakan manusia (
human being), bukan makhluk lain selain
manusia. Begitu maujud seorang manusia, maka melekat dalam dirinya hak
tersebut. Hak-hak asasi tersebut sangat berkaitan erat dengan harkat dan martabat
manusia
(human dignity). Tanpa hak-hak dasar tersebut manusia tidak dapat hidup
sesuai dengan harkat dan martabatnya itu. Pemenuhan dan penghormatan terhadap
HAM memungkinkan perseorangan dan masyarakat untuk berkembang secara
utuh.
Beberapa pakar dan praktisi gerakan HAM berada dalam simpang
pemikiran yang berbeda dalam memahami (dan juga memperjuangkan) HAM..
Jack Donnely menekankan bahwa umat manusia memiliki hak-hak dasar bukan
atas dasar pemberian hukum positif, namun dimilikinya secara kodrati, karena
martabatnya sebagai manusia.1 Pandangan Donnely menegaskan bahwa HAM
muncul bersamaan dengan lahirnya kedirian manusia.
Terdapat beberapa pengertian yang pendekatannya yuridis. Louis Henkin2,
misalnya, mengartikan HAM sebagai: kebebasan-kebebasan (
liberties),
kekebalan-kekebalan (
immunities) dan kepentingan-kepentingan atau keuntungan-
1 Lihat juga Jack Donnely, 2003,
Universal Human Rights in Theory and Practice, (Cornell
University Press, Ithaca and London), hlm. 7-21. Bandingkan dengan Eko Riyadi (ed.), 2008,
Hukum Hak Asasi Manusia (PusHAM UII, Yogyakarta) Hlm. 11. Lihat juga Maurice
Cranston. 1973,
What are Human Rights?, (Taplinger, New York), hlm. 70.
2 Dalam Rafael Edy Bosko, ��Prinsip-prinsip HAM��, salah satu materi dalam
Modul Penataran
Hak Asasi Manusia Untuk Guru, dilaksanakan oleh Depdiknas bekerjasama dengan Fakultas
Hukum UGM Yogyakarta, di Bogor, tanggal 5-8 Oktober 2004. Hlm 3.
2
keuntungan (
benefits), yang berdasarkan norma-norma hukum yang ada
seyogyanya dapat diklaim (
should be able to claim) sebagai hak oleh individu
atau kelompok kepada masyarakat dimana dia tinggal. Definisi tersebut
menunjukkan kecenderungan HAM sebagai apa yang sudah diatur sedemikian
rupa dalam norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan, namun
sekaligus sesuatu yang dapat diperjuangkan atau dituntut oleh perorangan atau
kelompok sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat setempat.
Tidak jauh berbeda dengan Henkin, Osita Eze menyatakan bahwa HAM
merupakan tuntutan atau klaim yang dilakukan oleh individu atau kelompok
kepada masyarakat atau negara, yang sebagiannya telah dilindungi dan dijamin
oleh hukum, dan sebagiannya lagi masih menjadi aspirasi atau harapan di masa
depan.3 Eze memberikan tekanan pada realitas bahwa hak-hak dasar tersebut
belum sepenuhnya dilindungi oleh hukum negara. Dalam perspektif demikian,
pemenuhan HAM yang ideal secara filosofis membutuhkan perjuangan individu
atau kelompok untuk mendapatkan pemenuhan dan perlindungan legal dari
negara.
Frans Magnis-Suseno menekankan dua unsur utama dalam pengertian
HAM.
Pertama, bahwa hak-hak itu mendahului penetapan negara. Dalam hal ini
tidak jauh berbeda dengan apa yang dipaparkan Donelly di muka.
Kedua, bahwa
hak-hak itu bersifat universal. Universalitas HAM merujuk pada maksud bahwa
HAM berlaku untuk seluruh ras manusia, tanpa melihat apa warna kulitnya, dalam
latar etnis atau suku apa ia lahir, apa agamanya, bagaimana asal-usul
keturunannya, dan sebagainya.4
Dengan spektrum konseptual tersebut, tampak jelaslah bahwa substansi
HAM secara generik diakui sebagai sesuatu yang melekat
(inherent) pada
manusia, tidak dapat dicabut dan dipisahkan
(inalienable and indivisible), bersifat
3 Ibid. Yang menarik dari pengertian yang diajukan oleh Eze adalah kuatnya penekanan perspektif
bahwa HAM melibatkan relasi individu-kelompok, perseorangan-masyarakat, atau warga
negara-negara.
4 Keyakinan universalitas HAM mendapat tentangan dari beberapa kelompok filosof dan politisi
dari beberapa bagian dunia. Penentang universalitas HAM adalah kaum relativis-kulturalis
yang meyakini bahwa HAM sangat terkait dengan konteks social-kultural masyarakat.
Pembahasan mengenai debat pemikiran antara kaum universalis dengan kaum relativis-
kulturalis akan disajikan pada bagian lain Bab ini, pada subbab madzhab pemikiran HAM.
3
kodrati
(natural), dan berkaitan dengan penegakan atau penghormatan martabat
kemanusiaan
(human dignity). Namun secara legal, HAM merupakan sejumlah
hak dasar berupa tuntutan-tuntutan
(claims) yang dapat dituntutkan
pemenuhannya kepada hukum dan pemerintahan negara. Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, sebagai norma universal bagi negara-negara beradab, menyebut
pada konsideransnya bahwa ����recognition of
the inherent dignity and of the
equal and inalienable rights of all members of the human family is the
foundation of freedom, justice and peace in the world��5, dan kemudian segera
ditegaskan bahwa ����it is essential, if a man is not to be compelled to have
recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that
human
rights should be protected by the rule of law.��6 Secara subsantio-filosofis,
HAM merupakan hak dasar yang melekat pada manusia secara kodrati, namun
secara legal hal itu harus mendapatkan jaminan perlindungan dari sistem hukum
negara. Dalam konteks Indonesia, hal ini sebangun dengan afirmasi dalam sistem
hukum Indonesia yang menyatakan filosofi HAM sebagai hak dasar yang secara
kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan
langgeng, oleh
karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun7, yang kemudian
ditegaskan keharusan penghormatan dan perlindungannya oleh sistem hukum
negara melalui statemen bahwa ����HAM adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh
negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.��8
5 Lihat paragraf pertama
preamble (pembukaan) Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
yang diadopsi Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948.
6 Lihat paragraf ketiga pada bagian Preamble UDHR
7 Sebagaimana dinyatakan dalam konsiderans huruf b Undang-Undang omor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
8 Pasal 1 Undang-Undang omor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4
B. Mengapa Hak Asasi Manusia
HAM teramat penting untuk menjadi
concern kita semua, tak hanya di
dunia aktivisme akan tetapi juga di lingkungan akademis. Hal itu dikarenakan
oleh berbagai latar, antara lain sebagai berikut:
Pertama, HAM adalah hak elementer dan fundamental tentang manusia,
harkat dan martabatnya. Kajian HAM terkait dengan keadaan-keadan
(circumstances) yang sangat generik, bahkan sebelum manusia terpilah-pilah atas
dasar label identitas: sebelum manusia terbagi ke dalam berbagai
kewarganegaraan, terkontak-kotak ke dalam berbagai anggota komunitas dunia,
dan seterusnya. Label identitas merupakan situasi yang hadir kemudian.
HAM tidak berbicara mengenai hak-hak seseorang ketika dia menjadi
anggota atau bagian dari komunitas tertentu. Memang, melekatnya hak pada
individu di satu sisi, jelas melahirkan kewajiban dan tanggung jawab pada
komunitas di sisi yang lain. Ketika berbicara mengenai hak dasar yang melekat
pada suatu kelompok, sekaligus berbicara mengenai kewajiban dan tanggung
jawab pada kelompok yang lebih besar (supra komunitas). Namun, relasi
demikian lebih banyak terkait dengan mekanisme formal pemenuhan, penegakan,
dan penghormatan hak-hak dasar tersebut.
Kedua, HAM merupakan alat peradaban/sarana sipilisasi
(a civilizing
tool). Potret kebiadaban negara sudah berlangsung jauh sebelum Perang Dunia II.
Realitas tersebut mengakibatkan kemunduran besar kemanusiaan: secara fisik,
jiwa, sosio-ekonomi, sosio-kultural. Isu HAM menjadi gerakan global untuk
menciptakan tatanan dunia yang lebih beradab
(civilized). Ketika isu demokrasi
dan demokratisasi dijadikan pintu gerbang untuk menetralkan dan mereduksi
kebiadaban negara atas warga negaranya, kegagalan segera membayang karena
negara lalu bersembunyi di balik tameng kedaulatan negara
(state sovereignty).
Banyak contoh keberhasilan penggunaan isu HAM dalam memberikan
pelajaran kepada negara-negara yang abai menjamin penegakan, pemenuhan, dan
penghormatan kepada warganya. Contoh paling dekat adalah Indonesia. Ketika
berbagai kebiadaban pemerintahan Orde Baru berlangsung atas warganya, banyak
kalangan termasuk Asing yang berpikir untuk memperbaiki keadaan di Indonesia
5
dengan menggunakan isu demokrasi. Namun, pemerintah Orde Baru dapat
berkelit dengan mengatakan bahwa ��kami negara yang demokratis��. Buktinya,
proses elektoral selalu berlangsung secara reguler, partai politik hidup, kebebasan
berorganisasi dijamin, pemuda berorganisasi, wartawan memiliki wadah
organisasi, kelompok agamawan juga berhimpun dalam organisasi, buruh
tergabung dalam assosiasi, dan seterusnya. Namun, Pemerintah tidak bisa
mengelak dari tudingan pihak luar soal isu HAM. Secara faktual telah terjadi
pembantaian atas satu jutaan lebih warga negara setelah ��Revolusi Komunis��
yang gagal pada tahun 1965. Pemerintah Orde Baru sulit berkelit atas terjadinya
pembantaian sipil oleh tentara dalam Tragedi Tanjung Priok. Pemerintah tidak
bisa menyangkal ketika Kasus Marsinah, Udin, dan sejenisnya lalu diangkat
bukan sebagai isu demokrasi, akan tetapi sebagai isu HAM.9
Contoh yang lain adalah Myanmar. Ketika isu demokratisasi digulirkan
oleh masyarakat internasional dengan ikon lokal Aung San Suu Kyi, junta militer
bergeming. Saat komunitas internasional mendesak Myanmar untuk masuk ke
dalam gelombang demokrasi dan membebaskan aktivis pro demokrasi Suu-Kyi,
Pemerintah Militer Myanmar tidak mengindahkan respon tersebut sambil terus
berargumentasi bahwa persoalan dalam negeri Myanmar adalah yurisdiksi mereka
dan Myanmar memiliki kedaulatan atas yurisdiksi mereka sendiri. Sehingga setiap
permintaan dunia internasional untuk masuk ke Myanmar, bahkan sekedar untuk
menunjukkan solidaritas kepada Suu-Kyi selalu ditolak oleh Pemerintah
Myanmar. Sampai kemudian internasional menggeser isu demokrasi kepada isu
HAM. Kira-kira persuasi masyarakat internasional berbunyi: ��Tak masalah
Myanmar akan memilih sistem pemerintahan apapun, tapi tak ada legitimasi bagi
pemerintah negara manapun untuk melakukan pelanggaran terhadap hak-hak
dasar warganya��. Dengan berbekal ��bendera�� HAM, sebuah tim internasional
akhirnya diperkenankan masuk ke Myanmar untuk menyatakan simpatinya
9 Demikian pula halnya ketika Negara tidak kunjung meratifikasi International Covenant on Civil
and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1966, sejatinya dapat dibaca sebagai keengganan
pemerintah dari kewajiban dan tanggung jawab di bidang HAM, paling tidak secara teknis-
formal berupa pemberian
annual report kepada PBB.
6
kepada aktivis pro demokrasi tersebut.10
Bahkan dalam kerangka isu
kemanusiaan, masyarakat internasional menegaskan pentingnya Badan PBB untuk
Investigasi Kejahatan Kemanusiaan di Myanmar.11
Ketiga, HAM merupakan nilai dasar peradaban global. Pasca Perang
Dunia II muncul semacam kesadaran kolektif masyarakat dunia bahwa tatanan
dunia harus diubah agar lebih damai dan mendamaikan. Pengalaman korban
perang yang mengerikan karena penggunaan berbagai produk teknologi
persenjataan yang nir pertimbangan kemanusiaan mendorong komunitas
internasional untuk melakukan pertobatan massal dan mengikatkan diri dalam
komitmen global yang damai dengan nilai-nilai baru berbasis kemanusiaan.
Komitmen masyarakat dunia tersebut diejawantahkan dalam bentuk Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi tersebut didasarkan pada keyakinan
penuh bahwa hak asasi manusia adalah nilai dasar yang menempatkan
kemanusiaan melampaui berbagai pertimbangan apapun: politik, sosio-ekonomi,
sosio-kultural, kedaulatan negara, dan sebagainya.12
C. Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
Pemikiran mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) berkembang dari
pandangan dan teori berbagai filsuf, pakar dan ilmuwan. Pada mulanya istilah
HAM berangkat dari refleksi kritis mengenai hak, terutama yang dipelopori oleh
para filsuf Stoika.
10 PBB tidak dapat berbuat banyak terhadap demokratisasi Myanmar. Beberapa kali PBB
mengirim utusan khusus, Ibrahim Gambara, ke Myanmar guna proses negosiasi dengan junta
militer Myanmar untuk demokratisasi pemerintahan Myanmar. Tidak ada yang berhasil
sesuai dengan harapan PBB, terlepas dari persoalan internal Dewan Keamanan PBB, dimana
resolusi demokratisasi Myanmar kerap diveto oleh Rusia dan China. Akan tetapi dengan isu
HAM, PBB bersama lembaga-lembaga swadaya internasional seperti Children's Rights
Division, The Coalition to Stop the Use of Child Soldiers, Burma Partnership dan UNHCHR
masuk ke Myanmar untuk kampanye penghormatan terhadap hak asasi manusia. PBB juga
membentuk SRSG
(Office of the Special Representative of the Secretary-General for
Children and Armed Conflict) yang memonitor perkembangan HAM di Myanmar, terutama
penggunaan tentara anak dalam militer Myanmar.
11 Kompas, 18 Agustus 2010, hlm. 3
12 Spirit tersebut dapat dengan mudah kit abaca dalam tujuh konsideran Pembukaan (Preamble)
The Universal Declaration of Human Rights 1948.
7
Sebagai sebuah konsep yang kemudian bersifat universal, HAM pertama
kali muncul pada abad ke-17 melalui ajaran John Locke yang mengatakan bahwa
dalam keadaan alam bebas atau alamiah, manusia telah memiliki hak-hak alamiah
yang disebutnya hak-hak kodrati, hak-hak dasar atau hak-hak asasi, seperti hak
untuk hidup, hak untuk kebebasan atau kemerdekaan, dan hak atas milik.13 Untuk
menjamin adanya perlindungan terhadap hak-hak tersebut, di antara mereka
kemudian mengadakan perjanjian untuk membentuk masyarakat dan selanjutnya
negara dengan tugas pokok menjaga dan menjamin terlindunginya hak-hak
tersebut.
Pada abad berikutnya, dengan dimotori oleh pemikiran Rousseau, hak-hak
kodrati telah mulai dirasionalkan melalui konsep-konsep perjanjian masyarakat.
Ciri khas dari HAM pada masa ini ialah sekuler, universal, individual, demokratik
dan berkesan radikal. Kebebasan sipil dan hak untuk memiliki menjadi yang yang
paling menonjol. Pandangan John Locke dan Rousseau serta sinergi antara
keduanya sering dituduh sebagai penyulut api revolusi Amerika dan Perancis pada
akhir abad ke-18. Kemudian pada abad ke-19, John Stuart Mill dan Herbert
Spencer memunculkan konsep Utilitarianisme dengan menambahkan konsep
konsep etis dan utiliti. Pada masa ini, berkembang pula konsep sosialisme yang
lebih mengutamakan masyarakat daripada individu.
Perkembangan penting terjadi pada pertengahan abad ke-20 yaitu adanya
usaha merumuskan standar universal tentang HAM yang kemudian dikenal
dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dari PBB yang
diumumkan pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi ini dikonkritkan lagi
dengan Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dalam perkembangannya, persepsi dan konsepsi tentang HAM yang
merupakan hasil perkembangan kesadaran umum bahwa segi kemanusiaan
memang harus dijamin mendapat pengakuan sebagai asasi dalam daftar-daftar
resmi yang akhirnya memperoleh kedudukan hukum.
13 Soehino, 2002,
Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta
8
D. Mazhab Pemikiran Hak Asasi Manusia
Beberapa perdebatan mengenai imperativitas HAM sebagai norma dalam
hukum dan pemerintahan negara dimulai sesungguhnya dari perdebatan akademis
ilmiah mengenai HAM; apakah HAM itu bersifat universal atau partikular.
Sebelum terjerumus pada perdebatan yang cenderung filosofis tersebut, perlu
ditegaskan bahwa HAM merupakan hasil perkembangan
common sense bahwa
segi kemanusiaan memang harus dijamin. Pengalaman buruk negara-negara dan
tragedi kemanusiaan yang terjadi pada sejarah negara-negara terutama pada kurun
Perang Dunia II meniscayakan
concern universal atas HAM, sesuatu yang
sesungguhnya sudah melekat pada setiap manusia sebelum diperdebatkan oleh
politik dan hukum internasional, bahkan juga sebelum dibahas oleh pemikir dan
diperdebatkan dalam ilmu pengetahuan.
Universalitas HAM dalam bentuk serta pengertiannya yang umum tersebut
sudah mendapatkan klaritas sebagaimana dijelaskan dalam spektrum konseptual
bahkan legal (baik internasional maupun nasional), tetapi persepsi dan konsepsi
tentang HAM, terutama yang menyangkut perspektif ilmiah-retorik terbelah
dalam dua pandangan besar yaitu pandangan universalisme dan partikularisme
beserta pandangan derivatnya. Universalisme terbelah lagi menjadi dua perspektif
turunan, yaitu universal absolut dan universal relatif. Sedangkan partikularisme
juga dapat diturunkan lagi ke dua pandangan turunan, yaitu partikularisme absolut
dan relatif.
Pandangan universal absolut mengenai HAM artinya menempatkan HAM
sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam berbagai bentuk
International Bills of Human Rights dengan tidak mempertimbangkan faktor dan
konfigurasi sosial budaya serta konteks ruang dan waktu yang melekat pada
masing-masing negara atau bangsa. HAM ditempatkan sebagai nilai dan norma
yang melintasi yurisdiksi negara-negara.
Sedangkan pandangan yang menyatakan bahwa HAM bersifat universal-
relatif menempatkan sebagai HAM merupakan nilai-nilai universal, dengan tetap
memberikan ruang distingsi dan bahkan limitasi bagi masing-masing negara-
bangsa. Namun demikian distingsi dan limitasi oleh masing-masing negara tetap
9
harus berdasarkan pada asas-asas hukum internasional dan tidak bertentangan
secara normatif dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip HAM internasional.
Pandangan partikularisme absolut memandang HAM dipandang sebagai
persoalan masing-masing bangsa dan negara. Negara-negara memiliki kedaulatan
untuk melakukan penolakan terhadap berlakunya dokumen-dokumen
internasional. Pandangan ini bersifat
chauvinis, egois, dan berkecenderungan
defensif terhadap isu-isu HAM, khususnya isu-isu HAM yang menjadi isu lintas
negara. Dalam perkembangan wacana dan praktek politik dan hukum HAM di
negara-negara, adakalanya penolakan terhadap perspektif universalitas HAM
dijadikan sebagai tameng untuk menutupi inkompatibilitas aturan dan praktek
politik dan hukum HAM dengan hak-hak substantif dan fundamental manusia dan
warga negara.
Sedangkan partikularisme relatif memandang HAM merupakan masalah
nasional masing-masing bangsa namun tetap berkaitan nilai-nilai universal.
Meskipun nilai HAM bertumbuh dari budaya dan konteks ruang-waktu negara-
bangsa tetap dimungkinkan berlakunya nilai-nilai universal yang sesuai dengan
nilai-nilai lokal-partikular. Di samping itu, berlakunya dokumen-dokumen
internasional dalam yurisdiksi nasional dapat dilakukan jika sesuai dengan nilai-
nilai budaya lokal negara-bangsa, serta mendapatkan dukungan pemerintahan
lokal.
Berkaitan dengan fragmentasi pandangan-pandangan berkaitan dengan
nilai-nilai HAM tersebut, Peter Davies menggunakan tiga teori untuk menjelaskan
pandangan-pandangan tersebut, yaitu; teori realitas (
realistic theory), teori
relativisme kultural (
cultural relativism theory), dan teori universalisme radikal
(radical universalism theory).14
Teori realistik mendasarkan pandangannya pada asumsi adanya sifat
manusia yang menekankan
self interest dan egoisme. Dengan
state of human yang
mementingkan diri sendiri, potensi konflik destruktif cenderung mengintai
kehidupan sosial masyarakat dan tertib negara. Kondisi demikian universalitas
moral yang dimiliki setiap individu tidak dapat berlaku dan berfungsi. Untuk
14 Azyumardi Azra (Pengantar), 2003, (Penerbit Kencana, Jakarta) hlm. 217-218
10
mengatasinya, negara dengan power dan securitynya mengambil tindakan untuk
menjaga kepentingan nasional dan ketertiban sosial.
Teori relativitas kultural berpandangan bahwa nilai-nilai HAM bersifat
lokal dan spesifik (khusus) sehingga hanya berlaku pada suatu negara. Penerapan
HAM menurut teori relativitas kultural ada tiga model:
a. Implementasi HAM yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik
dan hak kepemilikan pribadi, banyak dilakukan negara-negara yang
tergolong maju;
b. Implementasi HAM yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan hak
sosial, banyak diterapkan di negara-negara yang berkembang/sedang
berkembang;
c. Implementasi HAM yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib
sendiri
(self determination) dan pembangunan ekonomi, banyak dilakukan
oleh negara-negara yang masih tergolong terbelakang.
Teori radikal universal berpandangan bahwa semua nilai HAM bersifat
universal dan tidak bisa dimodifikasi oleh suatu negara dengan alasan kesesuaian
budaya dan sejarah. Penganut teori ini menganggap hanya ada satu pemahaman
tentang HAM bagin semua negara.
Arus pemikiran atau pandangan tentang nilai-nilai HAM yang saling tarik
menarik dalam melihat relativitas HAM tersebut pada prinsipnya dapat disarikan
menjadi dua kelompok pandangan yaitu
strong relativist dan
weak relativist.15
Strong relativist beranggapan bahwa nilai-nilai HAM secara prinsip
ditentukan dan dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan tertentu, sedangkan
universalitas nilai HAM hanya menjadi pengontrol dari nilai-nilai HAM yang
didasari oleh budaya lokal atau lingkungan setempat. Pandangan ini mengakui
keberadaan nilai-nilai HAM secara universal dan juga partikular. Sementara
weak
relativist memberi penekanan pada nilai-nilai HAM universal dan sulit untuk
dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu. Pandangan ini hanya
mengakui adanya nilai-nilai HAM yang bersifat universal.
15 Ibid. hlm. 218